Saturday, August 30, 2014

Pandangan Politik Dalam Perspektif Islam

Transmisi Islam sebagai agama samawi tidak sekedar dihadapkan pada ruang ibadah saja. Dengan kata lain, islam memberikan arahan-arahan berharga terhadap kehidupan manusia. Maka berkat spirit religius agama, rona kehidupan manusia menjadi terwarnai, bahkan grafik kehidupan manusia tampak lebih teratur dan harmonis, baik secara emosional maupun intelektual. Peran agama di ruang lebih luas tidak hanya sebatas keyakinan semata (doktrin ideologi), namun jauh dari sekedar hanya itu, artinya agama juga ikut memperhatikan berbagai faktor yang menunjang kesejahteraan manusia, seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan (sciens) dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut sudah ada takaranya dalam syariat islam, tinggal manusia memaksimalkan fungsi akal untuk menggali dan intepretasi pada pundi-pundi Al Quran dan sunnah. Adapun dari sisi analisa sejarahnya, islam punya hubungan yang tidak dinafikan, bahwa islam dekat dengan politik. Politik yang dimaksud spesifik dalam hal bernegara (wathoniyyah), yang semuanya diilhami oleh Al Quran dan Sunnah sebagai referensi utama terciptanya sistem politik Islam.


Sebagai contoh konsep Khilafah Islamiyah yang digerakkan oleh para Khulafa ar Rasyidun adalah sebuah sistem yang diciptakan untuk merealisasikan sebuah tuntutan agama dan meneruskan visi dan misi Nabi dalam mentransfer nilai-nilai syariat ke dalam tubuh masyarakat malalui sebuah bingkai sistem politik Islam. Sebuah fenomena politik yang berkembang yang membedakan sistem politik referensial (nash) atau sistem politik standar.

Abdur Razzaq as Sanhury, salah satu ulama terkemuka di bidang Syariat Islam wal Qonun, juga merupakan anggota penting dalam komite politik Islam timur tengah sekaligus anggota perumus undang-undang dasar (UUD) di beberapa negara Arab selama puluhan tahun pada abad ke-20-an berpendapat melalui ijtihadnya, bahwa dunia Islam saat ini membutuhkan kembalinya sistem khilafah, dan untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu dalam satu kesepakatan yang sama untuk menegakkan khilafah. Begitu pula Hasan Al Banna (Pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin) berkata, Ikhwanul Muslimin sangat mencintai tanah air mereka, dan berkeinginan keras untuk menghidupkan kembali khilafah di atas negeri yang mereka cintai, sambil mengutib sebuah perkataan Sahabat Nabi, "jika kaum Arab telah tergelincir, maka Islam juga akan tergelincir." Inilah yang kemudian membangkitkan semangat baru gerakan Ikhwanul Muslimin yang berafilisasi di Timur Tengah untuk menghidupkan khilafah pada kedua kalinya.

Khilafah, sebagai agenda utama oleh Ikhwannul Muslimin dianggap poin wajib yang harus ada dalam realitanya dalam kehidupan umat Islam dan mereka meyakini khilafah sebagai Syiar Islam kepada dunia. As Sanhury pernah mengutarakan pandangan searah dengan hal ini, bahwa umat Islam harus memakai satu bahasa komunikasi, satu sistem ekonomi dan satu sistem politik, dan mewujudkannya dengan memberdirikan negara Islam atas nama Khilafah Islamiyah. Akan tetapi, secara fundamental dibantah oleh Dr. Imarah bahwa implementasi sebuah sistem politik Islam itu sebenarnya tidak perlu menuntut pencapaian yang tekstualis, namun yang paling utama adalah mengintisarikan dan menerjemahkan tujuan-tujuan (maqoshid) Tuhan yang terkandung dalam kaidah-kaidah syariat, semisal keadilan dan kesejahteraan antar manusia, sehingga penerapannya adalah realistis kontekstualis.

Daulah Islamiyah yang didirikan pertama kali di Madinah mengandung 3 (tiga) pilar utama.
Pertama, pilar yang dibentuk oleh kaum Muhajirin yang dipimpin oleh Umara. Kedua, pilar yang yang terbentuk di masa selanjutnya yang dipimpin oleh Wazir. Ketiga, pilar yang dibentuk oleh Majelis Syura, terdiri dari tujuh puluh sektor saat itu. Setiap pilar mengusung transliterasi Hukum Syariat di setiap masanya, sehingga bisa dikatakan sangat menentang Diktatorisme dan Sekularisme. Pada dasarnya, Politik praktis dalam pandangan islam bukanlah induk Akidah agama atau sebuah kewajiban yang harus dilakukan, namun hanyalah sebuah cabang atau gagasan semata. Sehingga apapun perselisihan yang terjadi di dalam masalah politik selalu berkisar antara benar atau salah, bermanfaat atau tidak, bukan mempersoalkan tentang Iman atau Kufur. Negara Islam sebenarnya menyadari akan adanya macam-macam bentuk agama dan bentuk pemikiran. Memperjuangkan kebebasan dan hak-hak manusia. Secara tidak langsung masyarakat non Islam dapat ikut merasakan keamanan dan hidup damai secara nyaman dalam negara islam.

Musyawarah
 Adalah komponen penting dalam politik islam, yang berlaku untuk menjawab segala problematika masyarakat. Seperti pada masa Khulafa al Rasyidin, Abu Bakar ra. kerap membawa perkara-perkara masyarakat ke dalam Majelis untuk dimusyawarahkan bersama Sahabat-sahabat yang lain, begitu pula ketika ingin menetapkan sebuah aturan (undang-undang) baru. Hal itu dilakukan oleh Abu Bakar manakala perkara yang muncul tidak disinggung oleh Nash Al Quran dan Sunah. Dari sini memberitahu kita bahwa Islam telah menjalankan demokrasi jauh-jauh hari sebelum akhirnya ide itu muncul di Yunani. Al-Qurtubi, seorang mufassir mengungkapkan, ”Musyawarah adalah salah satu anjuran syariat dalam ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara , tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) maka harus dipecat.”Bentuk pelaksanaan syura memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad Saw. Yang gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga, bentuk pelaksanaan syura bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.

Bersifat Demokratis
 Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti persamaan, keadilan, kebebasan, hak asasi manusia, dan sebagainya.
Demokrasi sebagai sistem berbasis politik praktis yang dicetuskan secara etimologi oleh peradaban barat sebenarnya memiliki corak hukum positif, menghubungkan setiap individu masyarakat pada sebuah tataran dan batasan yang sama sebagai komponen bangsa, tidak memberikan hak dan kewajiban yang berbeda antara satu dengan yang lain. Isi dari ide demokrasi tak lain adalah buah pemikiran yang bersifat responsif terhadap lembaran aktual meskipun hanya berkisar pada filosofi dunia saja yang sekedar didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dunia. Namun apabila demokrasi itu dipimpin oleh politik Islam akan menggandeng pesan-pesan Tuhan, dan yang paling penting demokrasi ala Islam menjangkau dua dimensi, dunia maupun akhirat. Bekal menuju akhirat Cuma tersedia di dunia, mengatur, menyeimbangkan dan membuat sinkronisasi terhadap arahan-arahan Tuhan, adalah hal yang wajar, karena urgensi turunnya manusia di dunia agar dapat menyesuaikan diri di dunia tapi tidak melepas dan melupakan kewajibannya kepada Tuhan. 

Abu Hamid Al Ghazali pernah mangatakan, bahwa tuntutan agama belum bisa dicapai secara sempurna jika tatanan dunia belum siap. Dengan kata lain keduanya memiliki relasi yang saling menghubungkan Kewajiban ibadah misalnya, dengan menjalankan ibadah salat, puasa dan pergi ke tanah Haram untuk haji, semuanya bisa dilaksanakan secara sempurna jika fisiknya sehat, tempat tinggalnya layak, makanan dan keamanannya memadai. Seluruhnya diatur dalam keseimbangan yang sama dalam rangka menciptakan kehidupan dunia yang harmonis dan mencapai cita-cita akhirat yang mendapat lisensi rida dari Allah SWT.

Politik praktis oleh Islam tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu bahkan asing, namun hal yang harus dilakukan atas sebuah keharusan untuk manajemen kehidupan dunia. Islam sangat akrab dengan kegiatan politik sejak zaman Nabi dan masa setelahnya. Sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil dari seluruh perjalanan politik nabi dan kebijakan para Khulafa al Rasyidin adalah bagaimana umat Islam mengonsepsikannya sebagai sebuah kebijakan yang secara substansial tidak bertolak belakang dari ajaran syariat. Adapun praktek negara dan sistem yang dipakainya tidak perlu menggunakan nama aliansi keislaman, bukan nama atau simbol yang diharapkan, tapi muatan dan unsur kandungannya yang bisa sepihak dengan tujuan-tujuan Tuhan dalam berbagai kemaslahatan dalam kehidupan manusia.

Resensi kecil dari Kitab An Nidham As Siyasi Al Islamy, Karya Dr. Muhammad Imarah

No comments:

Post a Comment